-->
https://www.batmanteacher.com/

Followers

Surat Cinta di Bilik KBU

 

“Jangan diladeni, Kak. Dia sudah banyak korbannya!” Tuti berteriak dari kursi belakang saat aku selesai membacakan surat cinta penjaga wartel sekolah.

“Kamu juga korbannya?” tanyaku, membuat wajahnya bersemu merah.

Bukan aku, Kak, tapi teman sekamarku. Dia pernah cerita kalau bapak itu mantan pacarnya,jelas Tuti.



Terus terang, aku kerap bertemu lelaki itu. Rudy, begitu dia menulis namanya di selembar surat cinta yang dia kirimkan untukku, surat yang dia tulis pada kertas setruk wartel. Huh! Cowok kece kok nggak mau keluar modal! :-P

“Iya, Kak. Dia itu playboy,” tambah Imah. Emang nggak bisa ketemu cewek tuh orang. Semua cewek pasti pernah dia digodain. Setelah itu, cewek-cewek itu dicuekin lalu ditinggal begitu saja,lanjut Imah tanpa menyebut siapa saja yang telah lebih dulu menjadi korbannya.

Mendengar berbagai kisah jelek tentang si pengirim surat cinta itu, aku semakin geram kepadanya. Aku nggak akan tinggal diam. Aku harus kasih dia pelajaran. Emangnya dia pikir aku cewek apaan? Emangnya dia siapa, sok nembak aku?

“Akan kubalas suratnya ini!putusku. Sontak, teman-teman sekelasku mengernyitkan kening tak percaya.

“Loh, apa maksud Kakak? Kakak akan membalas surat cinta dari cowok playboy itu? Yang bener aja, Kak. Kakak suka dia?” Ain, sahabatku, tak percaya dengan jawabanku.

“Siapa bilang aku suka? Dia kan selalu mempermainkan wanita. Jadi, sekarang kita harus balik mempermainkannya,” jawabku mantap. Walau sedikit ragu, akhirnya teman-teman juga sepakat dengan ide gilaku. Ya, kami akan membalas surat cintanya.

Perlahan-lahan, kami memulainya dengan bersama-sama merangkai surat balasan untuk surat cintanya. Aku, yang sebenarnya tidak pernah menulis surat cinta sebelumnya, cukup kesulitan untuk membuatnya. Untunglah, di kelas ada Wiwien yang sudah berpengalaman gonta-ganti pacar. Ups! He he he ….

Praktis, dari dialah kami bisa merangkai banyak kata untuk membuat surat balasan, surat cinta dari ketua OSIS. Cie-cie ....

Kini, balasan surat cinta telah aku siapkan dengan sampul berwarna merah muda bergambar bunga mawar bertangkai dua dan kertas surat yang aku dapatkan dari Wiwien (ah, ternyata aku juga nggak keluar modal. :-D ) yang beraroma parfum. Tak lupa, aku selipkan kata “balas” di paling bawah surat, lalu melipatnya dengan rapi.

Niatku memang sudah bulat. Aku juga akan mempermainkannya.

Sesuai rencana, aku akan memberikan surat ini sendiri kepadanya, sebagaimana dia memberikan langsung surat cintanya kepadaku saat aku ke wartelnya. Seperti halnya dia, cukup mudah juga bagiku untuk menyerahkan surat ini kepadanya. Saat aku melintas di depan wartel di samping gerbang sekolahku, dia sudah berdiri di samping KBU¾kamar bicara umum. Tanpa ragu, aku serahkan suratku begitu saja dengan disaksikan teman-teman sekelasku.

Tanpa menunggu esok, suratku sudah terbalas pada jam istirahat. Rudy tidak lagi menggunakan kertas setruk wartel seperti kemarin. Kali ini, dia menuliskannya pada selembar kertas surat berwarna biru bergambar seorang lelaki dan perempuan cantik dengan kata-kata mutiara di dalamnya. Aku pun langsung saja membacanya di depan kelas dengan diselingi gelak tawa dari teman-teman.

Balas, Kak! Balas!seru mereka sembari berebutan membantuku menyiapkan balasan berikutnya.

Gara-gara itu, jadilah kami pacaran tanpa perasaan. Pacaran dengan gaya anak pesantren, yang hanya saling berkirim surat tanpa bicara apa pun saat ketemu. Parahnya lagi, ini bukan pacaran biasa, tetapi pacaran dengan penjaga wartel sekolah. Oh my goodness!

Surat-menyurat masih berlangsung di antara kami, dengan tulisan yang entah apa maksudnya. Intinya ya sayang, cinta, kangen, atau apalah itu, yang semuanya dikemas dalam tulisan berlembar-lembar.

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat kemampuannya menulis surat cinta sebegitu banyaknya. Dalam hati, aku mengakui kelihaiannya dalam membuai hati para wanita. Jadi, wajar saja kalau banyak wanita sampai klepek-klepek dengan kata-katanya. Habisnya, kata-katanya manis, pakai banget pula. Cuih! Namun, aku tidak boleh terlampau dalam dengannya. Cukup dengan surat-suratan saja. Sebab, dia itu playboy. Kata itulah yang selalu terngiang di benakku.

Setiap pagi, dia berdiri di depan wartel dengan senyum yang selalu tersungging, menunggu aku datang bersama balasan surat cintaku. Seperti biasa, aku pun menyerahkan surat balasan dengan senyum yang juga dibuat-buat. Teman-teman sudah mengerti. Setelah aku sampai di kelas, kami pasti cecikikan karena aktingku yang bagi mereka begitu sempurna.

Entah, ini surat yang keberapa. Aku lupa menghitungnya. Namun, semua suratnya selalu aku simpan rapi di lemari kamarku. Kali ini, aku sudah kehabisan bahan untuk membalas suratnya. Syukurlah, Wiwien tidak mati ide. Diserahkannya surat cinta dari kekasihnya kepadaku. Dengan surat itulah, aku menyalin keseluruhan isinya tanpa mengubahnya sama sekali, kecuali nama pengirimnya. Ha ha! Terserah, mau nyambung atau tidak, itu tidak penting. Yang penting, aku sudah membalas surat cintanya dengan bahasa yang juga membuai.

Namun, tidak seperti biasanya, kali ini setelah menerima suratku dia menghilang begitu saja. Tidak cepat membalas. Bahkan, sampai hampir bel pulang berdering, aku belum mendapatkan surat balasan darinya. “Tumben ya?ungkapku kepada Wiwien.

“Ah, tunggu saja, Kak. Paling sebentar lagi akan datang balasannya,tanggapnya seraya tertawa.

Namun, sampai bel pulang berdering, surat balasannya tak kunjung datang. Saat aku keluar dari gerbang sekolah melewati wartelnya, bayangannya pun tak tampak. Bahkan, esoknya dia juga tidak ada di tempat. Padahal, biasanya dia menyambutku dengan senyumannya.

“Ah, kemana ya, orang itu?gumamku. Entahlah, ini hari keberapa dia tak terlihat di tempat itu. Wartel tetap buka, tetapi operatornya orang yang berbeda.

“Kok Rudy nggak pernah terlihat lagi ya, Kak? Dia ke mana ya?” Rupanya, pikiran Wiwien sama denganku.

“Iya, ya? Ke mana ya? Aku sudah lama nggak baca suratnya juga nih,timpal Zubed.

Aku hanya tersenyum kecut tanpa berkata apa pun. Entah kenapa, ada yang berbeda dengan perasaanku. Entah sejak kapan aku mulai merasa sepi tanpa surat bualannya untukku. Aku mulai merasa ada yang kurang tanpa senyum palsunya di depan wartel yang selalu menyambutku setiap pagi. Ah, gila! Mikirin apa sih aku ini?

Hingga lebih dari sebulan aku tak mendengar kabar apa pun darinya. Akibatnya, aku jadi mulai terbiasa tanpa kehadirannya, meski sejujurnya dalam hatiku ada yang hilang rasanya.

Suatu siang, aku mendapat panggilan dari kantor tata usaha (TU). Aku pun bergegas menuju ke kantor itu, menemui seorang karyawan TU yang sedang asyik mengetik.

“Bapak panggil saya? tanyaku

“Ya, itu ada kiriman untukmu,sahutnya sambil menunjuk sebuah amplop berperangko. Kubaca nama pengirimnya: Rudiansyah. Hah? Rudy? Benarkah?

Berbinar-binar aku menerima suratnya. Entah kenapa, kali ini aku begitu senang mendapatkan suratnya. Rasanya, aku ingin jingkrak-jingkrak di depan karyawan TU. Untung saja aku masih sadar diri. He he ….

“Dari siapa?” tanya karyawan TU yang tetap duduk di atas kursinya.

“Abangku, Pak. Makasih ya,ucapku sambil berlalu setelah mengucapkan salam.

Begitu keluar dari ruang TU, aku tidak langsung menuju kelas untuk membacanya di depan teman-teman sekelas. Namun, aku memilih menuju kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatiku. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri dan apa yang terjadi padaku. Kenapa aku begitu senang dan deg-degan?

Pelan-pelan, aku membuka sampul amplop berwarna putih itu yang ditempeli sehelai perangko lima ribu. Aku pun membukanya secara perlahan, seolah tak ingin menyobek amplopnya. Lalu, aku membacanya dengan penuh perasaan.

 

Untuk Adindaku

Maaf, aku tidak membalas suratmu. Setelah aku terima suratmu, waktu itu aku juga terima kabar kalau nenekku meninggal. Aku langsung pulang tanpa sempat membalas suratmu. Maafkan aku. Sebenarnya aku ingin memberi kabar, tapi aku tidak tahu bagaimana mengabarimu saat itu. Aku langsung pulang karena di sana keluarga sudah menungguku.

Mungkin, masih cukup lama aku di rumah. Semoga kau selalu dalam keadaan sehat dan ceria seperti senyummu yang selalu ingin aku lihat.

Sungguh, aku merindukanmu.

 

Dariku,

Rudy

 

Ah, untuk kali pertama ada yang terasa dingin di hatiku. Suratnya kali ini cukup pendek saja, tanpa kata-kata sastra yang biasanya sampai tak bisa kupahami apa maksudnya. Kata-katanya sederhana, tetapi cukup menyentuh jiwa. Hatiku pun berbunga-bunga penuh makna.

Aku lantas melipat kembali suratnya, menyembunyikannya di dalam saku rok panjangku, dan bergegas kembali ke dalam kelas.

“Ada apa, Kak? Siapa yang panggil Kakak? tanya Zubed setibaku di kelas.

“Pak Taufik. Beliau hanya mau tanya soal kegiatan OSIS besok,” jawabku agak gugup.

Ah, untuk pertama kalinya aku berbohong soal surat Rudy kepada teman-temanku. Kurasakan pipiku hangat menahan malu di hadapan teman-temanku. Aku tak tahu apaka mereka merasakan ada yang aneh padaku atau tidak. Yang jelas, telah terjadi sesuatu yang tidak biasa padaku. Entah apa itu.

Related Posts
Widayanti Rose
Teacher, Writer, bussiness women, and Trainer

Related Posts

2 comments