#kisah_Nyata
#DiarySangGuru
Sesuai instruksi
dari kepala sekolah, pagi ini keluarga besar SDN Kapedi I akan mengadakan
upacara Hardiknas. Dewan guru diharuskan memakai seragam korpri. Agak was-was
juga dengan ukuran seragamku setelah lebaran ini, memang saat puasa timbangan
jalan ke kiri, tapi setelah beberapa hari lebaran, ia sepertinya balas dendam
dengan rute nganan.
Adodo..!
Benar saja! Harus
ada siasat untuk bisa mengenakan seragam korpri di hari penting ini. Jadilah ia sebuah blazer yang dipadukan
dengan manset panjang, ditambah jurus satset ala Batmam Teacher dengan empat anak yang
sangat sibuk di pagi hari. Alhamdulillah, tiba di sekolah dengan selamat lalu
segera kedip-kedip depan layar SIC dan berbaris di halaman untuk mengikuti
upacara.
Upacara dimulai
dengan Belva sebagai pemimpin upacara dan dipimpin langsung oleh kepala sekolah, Bapak Sujibno.
“Kepada pemimpin
upacara, hormaat grak!” suara Kiara siswa kelas 1 yang berada di barisan paling
kanan terdengar dengan lantang. Semua siswa memberi hormat pada pemimpin
upacara.
Hari ini tanggal
2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional, biasanya di sekolah memang
dilaksanakan upacara. Bahkan di tingkat kabupaten biasanya diberikan anugerah
atau apresiasi bagi insan pendidikan yang berprestasi atau berdedikasi dalam
dunia pendidikan. Saya pun mengucapkan selamat sukses untuk mereka pejuang
pendidikan ini.
Kali ini saya mengapresiasi pejuang pendidikan yang tak pernah disorot orang. Mereka adalah para wali murid yang setiap hari mengantar jemput bahkan menunggu sepanjang hari putra putrinya untuk sekolah, seperti di sekolah saya yang ada beberapa orang tua siswa kelas satu yang menemani di luar kelas menunggu putra putri mereka sekolah. bahkan di antara mereka adalah kakek atau nenek siswa.
Setiap hari mereka duduk rapi
di tempat yang disediakan sekolah tanpa wajah lelah walau mungkin mereka
bukannya tidak ada pekerjaan lain di rumah, tapi demi putra putrinya bersekolah
mereka rela berdiam di sekolah sampai bel pulang. Bagi saya pribadi, orang-orang
ini juga para pejuang pendidikan.
“Lapor.. kelas
satu siap mengikuti upacara!” suara lantang Kiara membuyarkan lamunan saya tentang
barisan pahlawan pendidikan yang tak dilirik orang. Saya kembali fokus
mengikuti upacara. Namun tidak lama setelah itu, di luar gerbang terdengar riuh
wali murid yang berhambur ke arah jalan. Sepertinya telah terjadi sesuatu di
depan gerbang sekolah.
“Neneknya Sipul ditabrak
sepeda, baru saja antar cucunya ke sekolah.” Kata salah satu mereka yang dapat
saya dengar jelas, posisi saya memang berada di dekat gerbang mendampingi
barisan siswa kelas satu dan dua.
Suara hiruk pikuk
semakin kencang dengan tangisan beberapa ibu-ibu lainnya. Akhirnya saya keluar
dari barisan dan bergegas melihat langsung apa yang terjadi di depan gerbang
sekolah.
“Siapa Pak?” Tanya
saya pada beberapa orang di sepanjang jalan.
“Gak
tau, Bu. Katanya wali murid habis mengantarkan putranya ke sini.” Jawab seorang
bapak yang membuat hati saya bergemuruh. Duh! Semoga selamat, doa saya dalam
hati.
Saya percepat
langkah menuju lokasi kejadian, hanya beberapa meter ke timur dari gerbang
sekolah terlihat genangan dar*h yang begitu banyak.
‘Allahuakbar..!’
pekik saya dalam hati saat melihat seorang nenek terkapar dengan dar*h segar
mengalir dari belakang kepala, telinga, hidung dan mulutnya. Matanya terpejam
dengan nafas tersenggal-senggal. Sementara di sampingnya seorang ibu lebih muda
menangis histeris dan berkali-kali pingsan melihat sang korban.
“Tolong pak..
tolong bawa ibu saya ke rumah sakit!” teriak ibu tadi memohon kepada para
lelaki yang mulai berdatangan. Saya tidak tahu mesti berbuat apa, sementara tak ada seorang pun yang berani mendekat. Mereka hanya terpaku dan meringis melihat
korban, bahkan ibu-ibu yang datang histeris berlari tidak tega melihatnya.
Seorang berpakaian
serba putih mungkin perawat (entah dokter) yang lewat atau mungkin dari puskesmas pembantu
terlihat memeriksa nadi di lehernya.
“Gimana Pak?” Tanya
saya sambil berbisik.
“Parah, Bu.” Jawabnya
pelan.
Sementara ibu yang
kemudian saya ingat dia adalah putri dari korban masih histeris dan
berkali-kali tergeletak pingsan. Saat sadar dia meminta tolong agar orang-orang
membawa ibunya ke puskesmas. Orang-orang mencoba meminta bantuan pada
mobil-mobil yang lewat. Nihil, tak ada mobil yang mau membawa korban ke
puskesmas.
Ya Allah… nyesek
sekali mendapatkan kenyataan ini. Tidak ada satu pun mobil yang mau untuk
diajak berhenti. Mungkin mereka masih memegang mitos jika membawa korban kecelakaan
atau jika meninggal di atas mobil akan menyebabkan mobil tersebut mengalami
kesialan. Ya Allah..! kasihan sekali mereka.
“Pak tolong pak…!”
saya ikut berteriak memohon bantuan para sopir mobil yang dihadang orang-orang.
Tak ada yang mau berhenti. Mereka hanya meringis dan segera berlalu.
Melihat keadaan
yang sepertinya tidak mungkin membawa ibu ke rumah sakit, akhirnya saya
berhenti memohon bantuan para sopir. Saya sadarkan ibu yang histeris di samping
korban dipangku seorang perempuan muda.
“Ibu, sabar Bu. Sudah..
ayo kita sebut asma Allah di telinga nenek. Kasihan, Bu..!” ajak saya yang
membuat ibu ini beringsut mendekati nenek..
“Allah Allah…”
saya memulai di dekat telinga nenek. Sang Ibu pun mengucapkan lafadz Allah di
dekatnya dengan teriakan tak tertahan.
“Allah.. Allah…!”
hanya itu yang bisa kami lakukan di saat tak ada yang bisa diharapkan.
Sementara para
bapak terdengar masih meminta bantuan setiap mobil yang lewat untuk berhenti,
setidaknya mereka berusaha walau berkali-kali gagal. Akhirnya ada sebuah mobil
carry pickup berwarna putih yang bersedia, ia memutar haluan dengan mendekatkan
bagian belakang mobilnya ke dekat korban.
“Pak tolong pak,
angkat nenek ke atas mobil..!” teriak saya pada beberapa bapak yang berdiri
menyaksikan. Hanya beberapa orang yang mendekat, pastinya tidak akan kuat
mengangkat tubuh nenek. Mungkin gak tega melihat dar*ah yang terus mengucur,
mereka memilih menyaksikan saja. Ya Tuhan! Dari mata kepala saya sendiri saya
menyaksikan nenek sekarat di pinggir jalan seperti ini tanpa bisa berbuat
apa-apa.
“Allah.. Allah…!”
kembali saya ajak putrinya membaca
kalimat toyyibah di samping nenek. Saya melihat perubahan nafas nenek yang
semakin melemah.
“Allah Allah…”
Perawat kembali
memeriksa denyut nadi nenek. Dia juga memeriksa kedua bola mata si nenek yang tidak
lagi merespon.
“Allah…!” pekik
saya tertahan saat menyaksikan nafas nenek berhenti.
“Sudah gak ada.”
Kata perawat yang menambah histeris sang putri.
“Innalillahi
wainnailahi rojiun…”
Perawat menutup
mata sang nenek, lalu seorang bapak membuka baju miliknya dan ditutup ke muka nenek.
“Ada tali untuk mengikat tangannya?” Tanya perawat lagi. Ah mana ada tali di pinggir jalan begini, pikirku. Tapi saya tidak putus asa mencari, saya tanya sopir mobil pickup mungkin ada tali raffia di dalam sana.
Gak ada.
Akhirnya pilihan jatuh pada
kerudung hitam milik putrinya. Perawat menyilangkan tangan nenek, saya mengikatkan
kerudungnya dengan kencang dengan perasaan masih bergemuruh.
Allah… Allah…
Rasanya tidak
percaya dengan apa terjadi. Saya pun beringsut keluar dari keramaian dengan
dar*h masih menempel di tangan saya. Saya duduk di tepi jalan, mendengarkan
kisah mereka yang melihat kejadian tadi.
“Nenek Sipul ini
tadi mengantarkan cucunya ke sekolah dengan jalan kaki, lalu karena akan ada upacara,
sang nenek kembali pulang mengambil topi cucunya yang ketinggalan. Dia sudah
mengantarkan topi itu pada cucunya. Lalu berniat membeli sayur ke toko sebelah.
Makanya nyeberangnya tidak di depan gerbang. Biasanya dia kalau nyeberang
dibantu Pak Satpam setiap harinya.” Cerita para ibu di pinggir jalan.
Duh.. ternyata
si nenek dua kali bolak balik ke sekolah dengan jalan kaki untuk mengantar
cucunya sekolah dan tidak membiarkan cucunya upacara tanpa topi. Saya masih
terdiam mendengar cerita mereka.
“Mak Ni ini
hanya tinggal bertiga dengan anak perempuannya dan siful yang yatim. Bapaknya sudah
meninggal dan kakak lelakinya juga meninggal karena kecelakan sepulang sekolah
juga di jalan ini.” Cerita mereka lagi yang membuat saya kaget.
“Siapa Bu?” Tanya
saya penasaran.
“Ubay namanya,
dulu dia pulang sekolah tertabrak mobil di sini lalu meninggal di rumah sakit
pamekasan.”
“Ya Allah..” Ingatan
saya kembali saat tahun 2016 lalu, saya ikut mengatar Ubay ke puskesmas Pragaan
lalu menjenguknya di Rumah Sakit Pamekasan sebelum meninggal. Rupanya nenek yang
meninggal barusan ini adalah nenek Ubay. Keduanya meninggal kecelakaan di jalan
yang sama dan di saat pulang dari sekolah. Semoga keduanya ditempatkan di
surgaNya.
Perasaan saya tambah
tidak karuan, saya pun berniat kembali ke sekolah untuk mencuci darah yang menempel
di kedua tangan. Sepertinya upacara baru saja selesai, beberapa anak berlarian.
Mereka di antara siswa, terlihat seorang murid lelaki kelas satu dengan seragam lengkap yang dituntun oleh
guru keluar pagar sekolah..
“Siful…!” pekik
ibu-ibu yang berdiri di dekat gerbang. Duh!
Rupanya dialah sang
cucu Mbah Ni yang demi dia, Mbah Ni rela bolak-balik ke sekolah dua kali pagi ini sampai akhirnya nyawanya berakhir di jalan
ini. Saiful yang belum paham sepenuhnya apa yang terjadi, hanya melangkah
dengan wajah polosnya.
Allah…! Saiful
kecil si anak yatim tanpa saudara kini kehilangan neneknya yang setiap hari
mengantar dan menemaninya di sekolah, sementara ibunya bekerja di gudang ikan
dekat rumahnya.
Tegarlah Nak,
jadilah anak yang berpendidikan tinggi dengan topi seragam terakhir yang
diantar nenekmu. Topimu adalah simbol dedikasi seorang nenek yang berjuang
tanpa lelah demi pendidikan sang cucu.
Selamat jalan
mbah, Ni. Tepat di hari pendidikan Nasional ini, engkaulah salah satu pejuang
pendidikan. Semoga jalanmu dilapangkan. Aamiin…
02 Mei 2023