Namanya Ayu, Qurrata ayu. Gadis mungil
berparas ayu ini selalu tampil ceria dengan rambut di atas bahu. Tampilannya
selalu rapi, matanya yang sayu menyimpan keteduhan yang membuat siapapun selalu
rindu.
Sejauh ini tak pernah ada tingkah polanya
yang membuat aku harus menahan nafas mengelus dada. Dia memang berbeda, santun
dan bersahaja. Dia mesti tanggap dengan tugas-tugas belajarnya dengan hasil
yang baik tentunya.
"Yang sabar ya, Bu." Ucapnya
saat aku terdiam mendapat kelakuan 'Suci and the gank' yang
menguras kesabaran.
Untungnya ada Ayu yang mendinginkan.
Mau tak mau aku pasti tersenyum ketika
anak ini maju ke kursiku, "Dia memang begitu, Bu. Ibu masih mendingan,
kalau Bu Zai sudah dicaci maki sama Suci." Tambahnya menghiburku.
Aku memang bukan orang baru, tapi saat
cutiku selama dua bulan berlalu, telah banyak yang terjadi di kelas ini.
Tak ada yang istimewa dari Ayu di mata
teman-teman. Dia murid yang sederhana yang mau saja diperintah ke mana-mana.
"Yu, belikan aku mie ya. Jangan lupa
kasih sambal." Perintah Suci di jam istirahat.
"Aku juga belikan pentol ya, nih
uangnya." Nihat menyerahkan lembaran duaribuan yang diterima Ayu dengan
senyum.
"Aku juga beli pentol, gak pakai
pedas ya." Nury merogoh uang di sakunya dan menyerahkan ke tangan Ayu.
"Mie pakai sambal, pentol dua ribu
pedes, dua ribu tidak pedes." Jarinya terlipat tiga, mengingat-ngingat
kembali pesanan teman-temannya.
Beberapa saat, diapun datang.
Tangan kanan memegang piring berisi mie
goreng panas, dan di tangan kiri dua plastik berisi pentol tahu.
"Ini, Bak Suci. Ini Nihat yang pedes
dan ini Nury yang gak pedes," seulas senyum tersungging dari bibirnya.
itulah pertama kali nama Ayu menyita
perhatian.
Hari berikutnya, Suci masih saja menyuruh
Ayu ke kantin. Dan lagi-lagi Ayu melakukannya dengan tersenyum. Wah, ini tidak
boleh dibiarkan. Di kelasku tidak boleh ada benih-benih premanisme yang
membahayakan.
Saat Ayu berangkat ke kantin membawa
pesanan teman-teman, kudekati Suci di bangkunya. "Suci kenapa selalu
nyuruh Ayu ke kantin, kenapa gak beli sendiri?"tanyaku minta penjelasan.
"Dia memang mau kok, Bu. Dari dulu
aku dan teman-teman biasa nyuruh-nyuruh dia" jawabnya dengan santai. Aku
tau, pastilah siapapun takut jika yang menyuruhnya adalah Suci. Secara dia kan
tidak segan-segan pakai kekerasan jika temannya nolak.
"Kasihan Ci, dia kan juga
temanmu." Kataku pelan, berharap anak di depanku akan menerima perkataanku
dengan hati.
"Aku gak asal nyuruh aja, Bu. Aku
bayar dia kok."
"Bayar?" tanyaku tak percaya.
Ayu datang membawa pesanan Suci.
"Ada apa, Bu?" tanya Ayu saat
aku menatapnya dengan keheranan.
"Yu, kalau kamu aku suruh beli-beli,
aku kan bayar kamu ya, Yu?" Suci meminta penjelasan Ayu seraya mengambil
jus buah dari tangan Ayu.
Ayu terdiam, sedih.
"Benar begitu Yu?" Tanyaku
menatapnya lekat.
"Iya bu." Ayu menunduk.
"Kok Ayu mau?"
"Gak apa-apa, Bu. Aku senang kok.
Biasanya aku dikasih uang atau jajan sama bak Suci setelah itu. Aku kadang
tidak punya uang Bu, aku senang jika bak Suci memintaku untuk membelikan
untuknya di kantin."
Duh, jawabannya menohok sekali. Kenapa aku
baru tau ini, padahal sudah hampir dua bulan aku di kelas ini.
***
"Yu, sini." Panggilku saat dia
hendak keluar di jam istirahat.
"kenapa, bu?"
"Masih ada uang jajannya?"
"Utuh, Bu. Seribu. Hehe." Duh,
tanpa beban dia menjawabnya. Seribu dia seneng banget, padahal sudah bukan uang
saku anak sekolahan jaman now.
Kuselipkan selembar uang limaribuan di
sakunya.
"Ini apa, Bu?" Dia berusaha
mengembalikan uang itu.
"Buat jajan, jangan kasih tau
siapa-siapa ya."
"Gak usah, Bu." Lagi-lagi dia
berusaha menolak.
"Ibu mohon." Pintaku.
Diapun nyerah, tersenyum lalu mendaratkan
ciuman di pipi kananku. Lalu berlari ke luar kelas.
"Ada apa bu?" tanya Suci yang
melihat aksi Ayu. Wah, kalau sampai dia tau bisa berabe ini. Ups
"Gak papa, dia bisikin ibu kalau mau
istirahat ke kantin." Jawabku berusaha meyakinkan.
"Oh..."
Huft. Aku bernafas lega, sepertinya Suci
tidak melihat kalau Ayu menciumku. Kalau Suci cemburu, bisa pecah gunung
tangkupan perahu.
***
"Ibuku di Malaysia, Bu. Orang tuaku
bercerai saat aku masih bayi."
Degg!
Kenapa komplit sekali derita hidup Ayu.
Niatku hanya ingin berkirim salam ke ibunya, ternyata kisah ini yang aku
terima.
"Ayu tinggal dengan siapa?" Tanyaku
mulai penasaran.
"Kakek dan nenek ...."
mengalirlah cerita gadis mungil ini tanpa beban. Tidak ada raut sedih atas
nasib yang dia jalani saat ini. Aku saja yang sesak mendengar kisahnya.
Betapa tidak, sejak bayi dia sudah tinggal
dengan kakek neneknya. Ayahnya menikah lagi dengan orang Besuki tanpa ingat
lagi padanya, sementara ibu menjadi TKI di Malaysia. Kakek Ayu bekerja tidak
tetap. Kadang jadi kuli, kadang ikut berlayar mancing ikan atau beternak burung
love bird yang katanya hanya sepasang.
"Ayu tetap harus semangat belajar ya,
jangan putus asa. Ayu juga anak yang pintar, suatu saat Ayu jadi orang
sukses." Kataku dengan dada mulai sesak, membayangkan bagaimana seandainya
jika aku di posisi Ayu apa aku akan sekuat dia?
"Aamiin. Doakan ya Bu. Tapi aku gak
yakin bisa melanjutkan sekolah, karena gak punya biaya."
"Ssst.. gak boleh bicara begitu. Ayu
harus yakin kalau nanti ada rezeki buat Ayu."
"Suatu saat nanti, Ayu akan undang
ibu kalau Ayu mau menikah. Hadir ya bu kalau kuundang" Katanya lugu. Sontak
saja aku ketawa, anak sekecil ini sudah mikir nikah, jauh banget. Hhh
Tapi aku mengangguk, "insyaAllah ibu
hadir." Aku meyakinkan dia, walau pastinya nanti Ayu akan lupa
perkataannya saat ini.
"Doakan Ayu, agar kelak punya suami
tidak seperti ayah"
Lagi-lagi ada yang terasa menghujam di
dadaku. Aku tahan agar tidak cengeng di depan Ayu, toh anak ini tetap saja
tersenyum. Kenapa aku yang mewek. "Aamiin, semoga Ayu jadi anak sholehah,
sukses dan kelak dapat suami sholeh."
"Amiien.." dia mengangkat tangan
dengan mata terpejam. "Kelak kalau aku besar, aku ingin menghajikan kakek
dan nenek, Bu."
Duh, kali ini aku tak tahan lagi. Kupeluk
dia dengan mengamini kata-katanya.
======
Di kelas kita, banyak Ayu yang lain.
Cobalah lihat!